Siddhartha Gautama

(Dialihna sekang Buddha Gautama)


Gautama Buddha dong lair dijenengi Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama sing tujuannya tercapai"), dia kemudian dadi sang Buddha (secara harfiah: orang sing uwis mencapai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni ('orang bijak dari kaum Sakya') lan sebagai sang Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India sing juga merupakan pendiri Agama Buddha[1] Ia secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama Buddha sebagai Buddha Agung (Sammāsambuddha) di masa sekarang. Waktu kelahiran lan kematiannya tidaklah pasti: sebagian besar sejarawan dari awal abad ke 20 memperkirakan kehidupannya antara tahun Cithakan:Lahirsm-tahun sampai Cithakan:Matism-tahun; baru-baru ini, pada suatu simposium para ahli akan masalah ini,[2] sebagian besar dari ilmuwan sing menjelaskan pendapat memperkirakan tanggal berkisar antara 20 tahun antara tahun 400 SM untuk waktu meninggal dunianya, sedangkan sing lain menyokong perkiraan tanggal sing lebih awal atau waktu setelahnya.

Gautama Buddha

Patung Buddha sekang Sarnath, abad ke-4.
Lahir c. 563 SM
Lumbini, sekiye ana nang Nepal
Meninggal c. 483 SM
Kushinagar, sekiye ana nang India
Dikenal karena Pendiri Agama Buddha
Pendahulu Buddha Kassapa
Pengganti Buddha Maitreya
Bagian dari serial
Agama Buddha

Sejarah
Sejarah agama Buddha
Dewan-dewan Buddhis

Konsep ajaran agama Buddha
Empat Kesunyataan Mulia
Delapan Jalan Utama
Pancasila · Tuhan
Nirvana · Tri Ratna

Ajaran inti
Tiga Corak Umum
Samsara · Kelahiran kembali · Sunyata
Paticcasamuppada · Karma

Tokoh penting
Siddharta Gautama
Siswa utama · Keluarga

Tingkat-tingkat Pencerahan
Buddha · Bodhisattva
Empat Tingkat Pencerahan
Meditasi

Wilayah agama Buddha
Asia Tenggara · Asia Timur
Tibet · India dan Asia Tengah
Indonesia · Barat

Sekte-sekte agama Buddha
Theravada · Mahayana
Vajrayana · Sekte Awal

Kitab Suci
Sutta · Vinaya · Abdhidahamma

Siddhartha Gautama merupakan figur utama dalam agama Buddha, keterangan akan kehidupannya, khotbah-khotbah, lan peraturan keagamaan sing dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum setelah kematiannya lan dihafalkan oleh para pengikutnya. Berbagai kumpulan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, lan bentuk tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun kemudian. Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong untuk menerima biografi Sang Buddha sing dijelaskan dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah, tetapi belakangan iki "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan sing tidak sesuai mengenai fakta historis akan kehidupan lan pengajaran Sang Buddha."[3]

Orang tua

sunting

Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya lan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga luhur. Sejak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya sing juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Riwayat hidup

sunting
 
Relief kelahiran Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo.

Kelahiran

sunting

Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sal. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, sing satu dingin sedangkan sing lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak lan langsung dapat melangkah ke arah utara, lan tempat sing dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña sing dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada sing akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa. Bila tidak, ia akan menjadi pertapa lan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah:

  1. Orang tua,
  2. Orang sakit,
  3. Orang mati,
  4. Seorang pertapa.

Masa kecil

sunting

Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak sing cerdas lan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan lan dayang-dayang sing masih muda lan cantik rupawan di istana sing megah lan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:

  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan baik. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara sing dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. lan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:

  • Istana Musim Dingin (Ramma)
  • Istana Musim Panas (Suramma)
  • Istana Musim Hujan (Subha)

Masa dewasa

sunting
 
Pangeran Siddhartha melihat empat hal sing mengubah hidupnya.

Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang lan malam, karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana lan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, lan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Suatu hari Pangeran Siddharta meminta ijin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan sing berbeda dilihatnya "Empat Kondisi" sing sangat berarti, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati lan orang suci. Pangeran Siddhartha bersedih lan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua lan kematian. Lebih-lebih mereka sing minta pertolongan kepada orang sing tidak mengerti, sing sama-sama tidak tahu lan terikat dengan segala sesuatu sing sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci sing akan memberikan semua jawaban tersebut.

Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya lan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.

Setelah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati sing dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit lan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma lan kemudian kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh sing diharapkannya. Kemudian beliau bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Akhirnya beliau juga meninggalkan cara sing ekstrim itu lan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.

Masa pengembaraan

sunting
 
Pangeram Siddharta mencukur rambutnya lan menjadi pertapa, relief Borobudur.
 
Patung Buddha dari Gandhara, abad ke-1 atau abad ke-2.

Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava lan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama lan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban sing diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna. Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya lan pergi ke Magadha untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana sing mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakekat lan tujuan dari hasil pertapaan sing dilakukan tersebut.

Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu sing melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan:

Bila senar kecapi iki dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, lan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi iki dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.

Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama sing akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya sing telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah lan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan sing keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat iki sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna."

Perasaan bimbang lan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda sing dahsyat. Dengan kemauan sing keras membaja lan dengan iman sing teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan lan ditaklukkannya. Hal iki terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna lan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru sing berarti bhakti; kuning mengandung arti kebijaksanaan lan pengetahuan; merah sing berarti kasih sayang lan belas kasih; putih mengandung arti suci; jingga berarti giat; lan campuran kelima sinar tersebut.

Penyebaran ajaran Buddha

sunting
 
Sang Buddha memberi pelajaran tentang dharma kepada lima pertapa di Taman Rusa

Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan sing antara lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Ia sing Telah Datang', Ia sing Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') lan sebagainya. Lima pertapa sing mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha sing mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah sing ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya sing menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih lan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai usia 80 tahun, saat ia menyadari bahwa tiga bulan lagi ia akan mencapai Parinibbana.

Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Sifat Agung Sang Buddha

sunting
 
Sang Buddha menjelang Parinirwana.

Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) lan Kasih Sayang (karuna). Cinta Kasih lan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh waktu lan selalu abadi, karena telah ada lan memancar sejak manusia pertama kalinya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara sing disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan untuk mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin sing dimiliki oleh manusia. Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan Empat Prasetya sing berdasarkan Cinta Kasih lan Kasih Sayang sing tidak terbatas, yaitu

  1. Berusaha menolong semua makhluk.
  2. Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
  3. Mempelajari, menghayati lan mengamalkan Dharma.
  4. Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.

Buddha Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan sing diakibatkan oleh tubuh, ucapan lan pikiran, yaitu

  • Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
  • Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada manfaat.
  • Pikiran (citta): kemelekatan, niat buruk lan kepercayaan sing salah.

Cinta kasih lan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, lan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Akan tetapi terhadap mereka sing menderita sangat berat atau dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan sing benar lan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan Sempurna".

Sebagai Buddha sing abadi, Beliau telah mengenal semua orang lan dengan menggunakan berbagai cara Beliau telah berusaha untuk meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun Beliau tidak pernah mau mengatakan bahwa dunia iki asli atau palsu, baik atau buruk. Ia hanya menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana adanya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan lan kepercayaan masing-masing. Ia tidak saja mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan. Meskipun bentuk fisik tubuh-Nya tidak ada akhirnya, namun dalam mengajar umat manusia sing mendambakan hidup abadi, Beliau menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran lan kematian untuk membangunkan perhatian mereka.

Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah didalam berbagai kesempatan sing pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, sing merupakan keadaan sebenarnya dari hakekat sing hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, sing tersuci dari semua sing suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma sing agung. Ia dapat berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang sing bodoh karena keserakahannya lan kebenciannya, tidak mau memperhatikan lan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka sing mendengarkan khotbah-Nya, sing dapat mengerti lan menghayati serta mengamalkan Sifat Agung Sang Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.

Wujud lan kehadiran Buddha

sunting

Sang Buddha tidak hanya dapat mengetahui dengan hanya melihat wujud lan sifat-Nya semata-mata, karena wujud lan sifat luar tersebut bukanlah Buddha sing sejati. Jalan sing benar untuk mengetahui Buddha adalah dengan jalan membebaskan diri dari hal-hal duniawi/menjalani hidup dengan cara bertapa. Buddha sejati tidak dapat dilihat oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Agung seorang Buddha tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Namun Buddha dapat mewujudkan diri-Nya dalam segala bentuk dengan sifat sing serba luhur. Apabila seseorang dapat melihat jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Agung Buddha, namun tidak tertarik kepada wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah sing sesungguhnya sing telah mempunyai kebijaksanaan untuk melihat lan mengetahui Buddha dengan benar.

Deleng uga

sunting

Pranala jaba

sunting

Cithakan:Wikisource author

Referensi

sunting
  1. (Inggris) The Buddha
  2. (Inggris) The Dating of the Historical Buddha: A Review Article
  3. (Inggris) [Lopez (1995). Buddhism in Practice. Princeton University Press. pp. 16.