K.H. Abdurrahman Wahid

(Dialihna sekang Abdurrahman Wahid)


Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lair nang Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 – seda nang Jakarta, 30 Desember 2009 dong umure 69 taun[1]) adalah tokoh Muslim Indonesia lan pemimpin politik sing dadi Presiden Indonesia sing kepapat sekang tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerentahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai saka 20 Oktober 1999 lan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama lan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

K.H. Abdurrahman Wahid
K.H. Abdurrahman Wahid


Masa jabatan
20 Oktober 199923 Juli 2001
Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri
Pendahulu Baharuddin Jusuf Habibie
Pengganti Megawati Sukarnoputri

Lahir 7 September 1940
Bendera Belanda Jombang, Jawa Timur, Hindia Belanda (masa penjajahan)
Meninggal 30 Desember 2009 (umur 69)
Bendera Indonesia Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Partai politik PKB
Suami/Istri Sinta Nuriyah
Anak Alissa Qotrunnada
Zannuba Ariffah Chafsoh
Anita Hayatunnufus
Inayah Wulandari
Agama Islam
Situs resmi www.gusdur.net

Kehidupan awal

sunting
 
Gus Dur semasa muda.

Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 lan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur sekang pasangan Wahid Hasyim lan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender sing digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam sing berarti ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7 September 1940.

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk".[2] Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal lan diganti nama "Wahid", lan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai sing berati "abang" atau "mas".[2]

Gus Dur adalah putra pertama sekang enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga sing sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek sekang ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek sekang pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama sing mengajarkan kelas pada perempuan[3]. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis lan dadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid lan Lili Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah lan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, lan Inayah.

Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan sekang Tan Kim Han sing menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.[4][5] Tan A Lok lan Tan Eng Hwa iki merupakan anak sekang Putri Campa, puteri Tiongkok sing merupakan selir Raden Brawijaya V.[5] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini sing diketemukan makamnya di Trowulan.[5]

Pada tahun 1944, Wahid pindah sekang Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih dadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi sing berdiri dengan dukungan tentara Jepang sing saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang lan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta lan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, lan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya[6]. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak dadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pendidikan Wahid berlanjut lan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak lan belajar di SMP. Pada tahun 1957, setelah lulus sekang SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru lan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon lan Majalah Budaya Jaya.[7]

Pendidikan di luar negeri

sunting

Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa sekang Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Cithakan:Bhs, Gus Dur diberitahu oleh pihak universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam lan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.[8]

Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; ia suka menonton film Eropa lan Amerika, lan juga menonton pertandingan sepak bola. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia lan dadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam lan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa; ia telah mempelajari banyak materi sing diberikan lan menolak metode belajar sing digunakan Universitas [9].

Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta lan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian sekang upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas lan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah iki diberikan pada Wahid, sing ditugaskan menulis laporan [10].

Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G30S sangat mengganggu dirinya.[11] Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar.[11] Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad.[12] Wahid pindah ke Irak lan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia lan juga menulis majalah asosiasi tersebut.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui.[13] sekang Belanda, Wahid pergi ke Jerman lan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.

Awal karier

sunting

Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian,Pendidikan lan Penerangan Ekonomi lan Sosial (LP3ES) organisasi yg terdiri sekang kaum intelektual muslim progresif lan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah sing disebut "Prisma" lan Gusdur dadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES,Gusdur juga berkeliling pesantren lan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu,pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan sekang pemerentah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerentah. Gusdur merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gusdur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren sing ia lihat. Pada waktu sing sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerentah,pemerentah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan lan membantu pemerentah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Gusdur memilih batal belajar luar negeri lan lebih memilih mengembangkan pesantren.

Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai jurnalis,menulis untuk majalah lan surat kabar Artikelnya diterima dengan baik lan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu,ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah lan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta lan Jombang,tempat Gusdur tinggal bersama keluarganya.

Meskipun memiliki karier sing sukses pada saat itu,Gusdur masih merasa sulit hidup hanya sekang satu sumber pencaharian lan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang lan mengantarkan es. Pada tahun 1974 Gusdur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas lan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian Wahid menambah pekerjaannya dengan dadi Guru Kitab Al Hikam.

Pada tahun 1977,Gusdur bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek lan Kepercayaan Islam lan Universitas ingin agar Gusdur mengajar subyek tambahan seperti syariat Islam lan misiologi. Namun kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan sekang sebagian kalangan universitas.

Nahdlatul Ulama

sunting

Awal keterlibatan

sunting

Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan iki berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam dadi intelektual publik lan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun, Wahid akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga [14]. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah sekang Jombang ke Jakarta lan menetap di sana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU.

Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam sing dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa pemerentah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya [15]. Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jendral Benny Moerdani.

Mereformasi NU

sunting

Pada saat itu, banyak orang sing memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (sing termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi lan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan keketuaan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid lan njaluk agar ia mengundurkan diri. Idham, sing telah memandu NU pada era transisi kekuasaan sekang Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur lan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya lan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham lan orang sing njaluk kemundurannya [16].

Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lan mulai mengambil langkah untuk dadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. sekang Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid dadi bagian sekang kelompok sing ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Wahid berkonsultasi dengan bacaan seperti Quran lan Sunnah untuk pembenaran lan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara [17]. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri sekang PPP lan partai politik. Hal iki dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.

Terpilih sebagai ketua lan masa jabatan pertama

sunting

Reformasi Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional 1984, banyak orang sing mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid menerima nominasi iki dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus sing akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun demikian, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari terakhir Munas, daftar anggota Wahid sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat tinggu NU termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham Chalid. Wahid sebelumnya telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munas sing sedianya akan diumumkan hari itu. Namun demikian, Panitia Munas, sing bertentangan dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar sing sama sekali berbeda kepada para peserta Munas.[18]

Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto lan rezim Orde Baru. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya dadikannya disukai oleh pejabat pemerentahan. Pada tahun 1985, Suharto dadikan Gus Dur indoktrinator Pancasila.[19] Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 lan memperkuat Partai Golkar Suharto. Ia kemudian dadi anggota MPR mewakili Golkar. Meskipun ia disukai oleh rezim, Wahid mengkritik pemerentah karena proyek Waduk Kedung Ombo sing didanai oleh Bank Dunia.[20] Hal iki merenggangkan hubungan Wahid dengan pemerentah, namun saat itu Suharto masih mendapat dukungan politik sekang NU.

Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren lan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.[21] Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan lan menyediakan interpretasi teks Muslim.[22] Gus Dur pernah pula menghadapi kritik bahwa ia mengharapkan mengubah salam Muslim "assalamualaikum" dadi salam sekular "selamat pagi".[23]

Masa jabatan kedua lan melawan Orde Baru

sunting

Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, sing terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi iki didukung oleh Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie lan di dalamnya terdapat intelektual Muslim seperti Amien Rais lan Nurcholish Madjid sebagai anggota. Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI njaluk Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung sektarianisme lan akan membuat Soeharto tetap kuat.[24] Pada tahun 1991, Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi sing terdiri sekang 45 intelektual sekang berbagai komunitas religius lan sosial. Organisasi iki diperhitungkan oleh pemerentah lan pemerentah menghentikan pertemuan sing diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992.

Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 lan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam sing terbuka, adil lan toleran.[25] Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus Dur mulai mengubah banyak pendukungnya dadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus mendorong dialog antar agama lan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober 1994.[26]

Masa jabatan ketiga lan menuju reformasi

sunting

Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie lan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi.[27] Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri sekang Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati sing menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas sing besar lan berencana tetap menekan rezim Soeharto. Wahid menasehati Megawati untuk berhati-hati lan menolak dipilih sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati mengacuhkannya lan harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markas PDInya diambil alih oleh pendukung Ketua PDI sing didukung pemerentah, Soerjadi.

Melihat apa sing terjadi terhadap Megawati, Gus Dur berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik dengan mendukung pemerentah. Pada November 1996, Wahid lan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU lan beberapa bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerentah sing pada tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur.[28] Pada saat sing sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka lan pada Desember 1996 bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI sing kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerentah.

Juli 1997 merupakan awal sekang Krisis Finansial Asia. Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan reformasi dengan Megawati lan Amien, namun ia terkena stroke pada Januari 1998. sekang rumah sakit, Wahid melihat situasi terus memburuk dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden lan protes mahasiswa sing menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam mahasiswa di Universitas Trisakti. Pada tanggal 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama dengan delapan pemimpin penting sekang komunitas Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto. Soeharto memberikan konsep Komite Reformasi sing ia usulkan. Sembilan pemimpin tersebut menolak untuk bergabung dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki pendirian sing lebih moderat dengan Soeharto lan njaluk demonstran berhenti untuk melihat apakah Soeharto akan menepati janjinya.[29] Hal tersebut tidak disukai Amien, sing merupakan oposisi Soeharto sing paling kritis pada saat itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie dadi presiden menggantikan Soeharto.

Reformasi

sunting

Pembentukan PKB lan Pernyataan Ciganjur

sunting

Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai politik baru. Di bawah rezim Soeharto, hanya terdapat tiga pertai politik: Golkar, PPP lan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik mulai terbentuk, dengan sing paling penting adalah Partai Amanat Nasional (PAN) bentukan Amien lan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) bentukan Megawati. Pada Juni 1998, banyak orang sekang komunitas NU njaluk Gus Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak langsung mengimplementasikan ide tersebut. Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai menanggapi ide tersebut karena mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Wahid menyetujui pembentukan PKB lan dadi Ketua Dewan Penasehat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang.

Pada November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur, bersama dengan Megawati, Amien, lan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.

Pemilu 1999 lan Sidang Umum MPR

sunting
 
Amien Rais lan Gus Dur pada Sidang Umum MPR.

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim.[30] Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden lan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.

Pada 7 Oktober 1999, Amien lan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden.[31] Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie lan ia mundur sekang pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar lan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul lan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.[32]

Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk lan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden lan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden lan mengalahkan Hamzah Haz sekang PPP.

Kepresidenan

sunting

Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi sing meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, lan Partai Keadilan (PK). Non-partisan lan TNI juga ada dalam kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerentahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial sing korup.[33]

Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, lan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina.[34]

Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan November. Muncul dugaan bahwa pengunduran dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet melakukan korupsi selama ia masih berada di Amerika Serikat.[33] Beberapa menduga bahwa pengunduran diri Hamzah Haz diakibatkan karena ketidaksenangannya atas pendekatan Gus Dur dengan Israel [35].

Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum iki menentukan otonomi lan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan sing lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30 Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.[36]

 
Abdurrahman Wahid di Forum Ekonomi Dunia tahun 2000.

Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri lainnya ke Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia lan mengunjungi Arab Saudi dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, lan Italia. Dalam perjalanan pulang sekang Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, lan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko lan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, lan Perancis dengan Iran, Pakistan, lan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara sing dikunjunginya.[37]

Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai njaluk Jendral Wiranto mengundurkan diri sekang jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik lan Keamanan. Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer lan juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur terhadap Wiranto.[38]

Ketika Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya lan berhasil meyakinkan Gus Dur agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian mengubah pikirannya lan njaluknya mundur. Pada April 2000, Gus Dur memecat Menteri Negara Perindustrian lan Perdagangan Jusuf Kalla lan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan sing diberikan Wahid adalah bahwa keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah memberikan bukti sing kuat.[39] Hal iki memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar lan PDI-P.

Pada Maret 2000, pemerentahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerentah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua penandatangan akan melanggar persetujuan.[40] Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 sing melarang Marxisme-Leninisme dicabut.[41]

Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, sing menyebabkan kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia.[42] Isu iki diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, kepada parlemen Palestina tahun 2000. Isu lain sing muncul adalah keanggotaan Gus Dur pada Yayasan Shimon Peres. Baik Gus Dur lan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang penggambaran Presiden Indonesia sing tidak tepat, lan Alwi njaluk agar Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti.[43]

Dalam usaha mereformasi militer lan mengeluarkan militer sekang ruang sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, sing diangkatnya dadi Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal sing melibatkan Dharma Putra, yayasan sing memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali harus menurut pada tekanan.[44]

Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di Maluku lan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid njaluk TNI menghentikan aksi Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku lan dipersenjatai oleh senjata TNI.[45]

Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate lan Bruneigate. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan bahwa $4 juta menghilang sekang persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang.[46] Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Skandal iki disebut skandal Buloggate. Pada waktu sing sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan sekang Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal iki disebut skandal Bruneigate.

Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu Wahid seperti Megawati, Akbar lan Amien masih mendukungnya meskipun terjadi berbagai skandal lan pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato, Wahid menyadari kelemahannya sebagai pemimpin lan menyatakan ia akan mewakilkan sebagian tugas.[47] Anggota MPR setuju lan mengusulkan agar Megawati menerima tugas tersebut. Pada awalnya MPR berencana menerapkan usulan iki sebagai TAP MPR, akan tetapi Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur mengumumkan kabinet baru meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati menunjukan ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet. Kabinet baru lebih kecil lan meliputi lebih banyak non-partisan. Tidak terdapat anggota Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.

Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI lan juga kemungkinan didanai oleh Fuad Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan sing sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia.[48] Ia dikritik oleh Megawati lan Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta lan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.

Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik sing kecewa dengan Abdurrahman Wahid. Orang sing paling menunjukan kekecewaannya adalah Amien. Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun lalu. Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan Megawati lan Gus Dur untuk merenggangkan otot politik mereka. Megawati melindungi Gus Dur, sementara Akbar menunggu pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir November, 151 DPR menandatangani petisi sing njaluk pemakzulan Gus Dur.[49]

2001 lan akhir kekuasaan

sunting

Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) dadi hari libur opsional.[50] Tindakan iki diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika Utara lan juga Arab Saudi untuk naik haji.[51] Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi Australia.

Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi.[52] Pertempuan tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk out dalam menanggapi hal ini. Nota iki juga menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur membantah lan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan.[53]. Namun, demonstran NU terus menunjukan dukungan mereka kepada Gus Dur lan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden hingga mati.

Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya. Menteri Kehakiman lan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot sekang kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur.[54] Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, lan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan,[55] sing pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak lan tidak hadir dalam inagurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua lan njaluk diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.

Gus Dur mulai putus asa lan njaluk Menteri Koordinator Politik, Sosial, lan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak lan Gus Dur memberhentikannya sekang jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001.[56] Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta lan juga menurunkan tank sing menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan.[57]. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit sing berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, lan (3) membekukan Partai Golkar[58] sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan lan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur lan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.[59] Abdurrahman Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah presiden lan tetap tinggal di Istana Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan.[60]

Aktivitas setelah kepresidenan

sunting

Perpecahan pada tubuh PKB

sunting

Sebelum Sidang Khusus MPR, anggota PKB setuju untuk tidak hadir sebagai lambang solidaritas. Namun, Matori Abdul Djalil, ketua PKB, bersikeras hadir karena ia adalah Wakil Ketua MPR. Dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Syuro, Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai Ketua PKB pada tanggal 15 Agustus 2001 lan melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai sebelum mencabut keanggotaan Matori pada bulan November.[61] Pada tanggal 14 Januari 2002, Matori mengadakan Munas Khusus sing dihadiri oleh pendukungnya di PKB. Munas tersebut memilihnya kembali sebagai ketua PKB. Gus Dur membalasnya dengan mengadakan Munasnya sendiri pada tanggal 17 Januari, sehari setelah Munas Matori selesai[62] Musyawarah Nasional memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Dewan Penasehat lan Alwi Shihab sebagai Ketua PKB. PKB Gus Dur lebih dikenal sebagai PKB Kuningan sementara PKB Matori dikenal sebagai PKB Batutulis.

Pemilihan umum 2004

sunting

Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, lan DPRD Indonesia 2004, memperoleh 10.6% suara. Untuk Pemilihan Umum Presiden lan Wakil Presiden Indonesia 2004, dimana rakyat akan memilih secara langsung, PKB memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis sehingga Komisi Pemilihan Umum menolak memasukannya sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin sing merupakan pasangan sekang Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto lan Solahuddin kalah dalam pemilu. Untuk pemilihan kedua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur menyatakan golput.

Oposisi terhadap pemerentahan SBY

sunting

Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerentahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama mengenai pencabutan subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.

Kehidupan pribadi

sunting

Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah lan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, lan Inayah Wulandari. Yenny juga aktif berpolitik di Partai Kebangkitan Bangsa lan saat iki adalah direktur The Wahid Institute.

Kematian

sunting

Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga seringkali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan strok. Diabetes dan gangguan ginjal juga dideritanya. Ia wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang sudah dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Menurut Salahuddin Wahid adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri.[63] Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.[64]

Penghargaan

sunting

Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan sing cukup prestisius untuk kategori Community Leadership. [65]

Wahid dinobatkan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, sing selama iki dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.[5]

Ia mendapat penghargaan sekang Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan sing bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu tokoh sing peduli terhadap persoalan HAM.[66][67] Gus Dur memperoleh penghargaan sekang Mebal Valor sing berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya sing sempat terpasung selama era orde baru.[66] Wahid juga memperoleh penghargaan sekang Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.[66] Pada 21 Juli 2010, meskipun telah meninggal, ia memperoleh Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010.[68] Penghargaan iki diserahkan langsung kepada Sinta Nuriyah, istri Gus Dur.

Tasrif Award-AJI

sunting

Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia lan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006.[69] Penghargaan iki diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur lan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, lan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, lan demokrasi di Indonesia. Gus Dur lan Gadis dipilih oleh dewan juri sing terdiri sekang budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni, lan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes sekang para wartawan sing hadir dalam acara jumpa pers itu.[70] Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi lan Pornografi, ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia lan wartawan The Jakarta Post membantah lan mempertanyakan hubungan perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan kebebasan pers.[70]

Doktor kehormatan

sunting

Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) sekang berbagai lembaga pendidikan:

  • Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum sekang Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)[71]
  • Doktor Kehormatan sekang Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)[71]
  • Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum lan Politik, Ilmu Ekonomi lan Manajemen, lan Ilmu Humaniora sekang Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)[71]
  • Doktor Kehormatan sekang Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan sekang Universitas Twente, Belanda (2000) [72]
  • Doktor Kehormatan sekang Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)[71]
  • Doktor Kehormatan sekang Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)[71]
  • Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan sekang Universitas Netanya, Israel (2003)[73]
  • Doktor Kehormatan bidang Hukum sekang Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)[71]
  • Doktor Kehormatan sekang Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)

Lihat pula

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. "Gus Dur Wafat", 30 Desember 2009. Diakses pada 30 Desember 2009.
  2. 2,0 2,1 Latar belakang keluarga Gus Dur, GusDur.net
  3. Barton (2002), halaman 38-40.
  4. "Jangan Malu Jadi Tionghoa, Gus Dur Mengaku Keturuan". Surya Online. http://www.surya.co.id/web/index.php/Internasional/index.php?option=com_content&task=view&id=43188&Itemid=78. Diakses pada Masalah: wektu ora absah. 
  5. 5,0 5,1 5,2 5,3 Qurtuby, Sumanto. "Gus Dur, Tionghoa, Indonesia". Suara Merdeka. http://www.suaramerdeka.com/harian/0403/22/kha1.htm. Diakses pada Masalah: wektu ora absah. 
  6. Barton (2002), halaman 49
  7. Barton (2002), Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 92
  8. Barton (2002), Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 88
  9. Barton (2002), halaman 88
  10. Barton (2002), halaman 89
  11. 11,0 11,1 Barton (2002), Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 99
  12. Barton (2002), Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 102
  13. Barton (2002), Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 111
  14. Barton (2002), halaman 112
  15. Barton (2002), halaman 133-134
  16. Barton (2002), halaman 136
  17. Barton, halaman 138
  18. Barton, halaman 143
  19. Barton (2002), halaman 153-154
  20. Barton (2002), Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 188-189
  21. Barton, halaman 162
  22. Barton, halaman 165-166
  23. Barton (2002), Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 189
  24. Barton (2002), halaman 183
  25. Barton, halaman 187
  26. Barton (2002), halaman 198
  27. Barton (2002), halaman 203
  28. Barton (2002), halaman 221-222
  29. Barton (2002), halaman 243
  30. Barton (2002), halaman 275
  31. Barton, halaman 281
  32. Conceicao, J.F. (2005). Indonesia's Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books. hlm. 9. ISBN 981-05-2307-6. 
  33. 33,0 33,1 Barton, halaman 290
  34. Barton (2002), halaman 288-290
  35. Conceicao, J.F (3 Desember 2005). Indonesia's Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books. hlm. 15. ISBN 981-05-2307-6. 
  36. Barton, halaman 293
  37. Barton (2002), halaman 294, hal. 297-298, hal.308
  38. Conceicao, J.F (3 Desember 2005). Indonesia's Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books. hlm. 18. ISBN 981-05-2307-6. 
  39. Barton (2002), halaman 302
  40. Conceicao, J.F (3 Desember 2005). Indonesia's Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books. hlm. 30-31. ISBN 981-05-2307-6. 
  41. "sekang Secangkir Kopi ke Hawa Nafsu". Kompas. 14 April 2000. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0004/14/NASIONAL/dari07.htm. Diakses pada 30 Desember 2006. 
  42. "Wahid's Move on Trade Stirs Up Nationalism Among Muslims". New York Times. 12 November 1999. http://www.nytimes.com/1999/11/12/news/12iht-a1_3.html. Diakses pada 25 Juni 2009. 
  43. "Palestinian Ambassador Should Be Replaced". Jakarta Post. 20 Oktober 2000. http://www.thejakartapost.com/news/2000/10/20/palestinian-ambassador-should-be-replaced-alwi.html. Diakses pada 25 Juni 2009. 
  44. Conceicao, J.F (3 Desember 2005). Indonesia's Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books. hlm. 21. ISBN 981-05-2307-6. 
  45. Barton (2002), halaman 306
  46. Barton (2002), halaman 304
  47. Barton (2002), halaman 320
  48. Barton (2002), halaman 340
  49. Barton (2002), halaman 345
  50. Chang, Yau Hoon (April 2004). "How to be Chinese". Inside Indonesia. http://www.insideindonesia.org/edit78/p13-14_hoon.html. Diakses pada 31 Desember 2006. 
  51. Barton (2002), halaman 352
  52. Barton (2002), halaman 348
  53. Barton (2002), halaman 351-352
  54. "Yusril Ihza Minta Gus Dur Mundur", Gatra.com, Masalah: wektu ora absah, http://www.gatra.com/artikel.php?id=3661, diakses pada Masalah: wektu ora absah 
  55. "Presiden: Dia Memenuhi Tiga Kriteria", Tempointeraktif.com, Masalah: wektu ora absah, http://tempo.co.id/hg/nasional/2001/03/17/brk,20010317-02,id.html, diakses pada Masalah: wektu ora absah 
  56. "Gus Dur Copot Lima Anggota Kabinetnya", Gatra.com, 1 Juni 2024, http://www.gatra.com/2001-06-01/artikel.php?id=6792, diakses pada Masalah: wektu ora absah 
  57. Barton (2002), halaman 363
  58. "MPR/DPR lan Golkar Dibekukan lan Pemilu Dipercepat", Tempointeraktif.com, 23 Juli 2024, http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2001/07/23/brk,20010723-56,id.html, diakses pada Masalah: wektu ora absah 
  59. "Megawati Resmi dadi Presiden Indonesia", Tempointeraktif.com, 23 Juli 2024, http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2001/07/23/brk,20010723-69,id.html, diakses pada Masalah: wektu ora absah 
  60. "Kepergian Abdurrahman Diiringi Massa Pendukung", Liputan6.com, 27 Juli 2024, http://berita.liputan6.com/politik/200107/17182/class=%27vidico%27, diakses pada Masalah: wektu ora absah 
  61. Tempointeraktif.com - Matori Dipecat sekang PKB
  62. UTAMA
  63. Ninik Karmini. Former Indonesian president Wahid dies at 69. yahoonews sekang AP edisi 30-12-2009.
  64. Syaiful Anri. Kesehatan Gus Dur Ambruk di Jombang. Liputan6 Online edisi 30-12-2009.
  65. https://web.archive.org/web/20100402015041/http://www.rmaf.org.ph/Awardees/Citation/CitationWahidAbd.htm
  66. 66,0 66,1 66,2 "Gus Dur Raih Tiga Penghargaan Internasional". Okezone. http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/05/05/1/106394/gus-dur-raih-tiga-penghargaan-internasional. Diakses pada Masalah: wektu ora absah. 
  67. "Terima Penghargaan, Gus Dur Terbang ke AS". detik.com. http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/05/tgl/03/time/153747/idnews/933397/idkanal/10. Diakses pada Masalah: wektu ora absah. 
  68. "Penghargaan Spesial Buat Gus Dur". Liputan6. http://berita.liputan6.com/sosbud/201007/287385/Penghargaan.Spesial.Buat.Gus.Dur. Diakses pada Masalah: wektu ora absah. 
  69. Gus Dur lan Gadis Arivia Raih Tasrif Award-AJI 2006, detik.com
  70. 70,0 70,1 "Tasrif Award Buat Gus Dur Menuai Protes". KapanLagi.com. http://www.kapanlagi.com/h/0000129023.html. Diakses pada Masalah: wektu ora absah. 
  71. 71,0 71,1 71,2 71,3 71,4 71,5 "Islam lan Demokrasi". Rijal Mumazziq Z. Surabaya Post. http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=72bf4c46f51738b13e2f7a204e39a7ec&jenis=d82c8d1619ad8176d665453cfb2e55f0&PHPSESSID=d3cd9cd7777fd55edd91e393bcd7bd01. Diakses pada Masalah: wektu ora absah. 
  72. "President Wahid van Indonesikrijgt eredoctoraat van de Universiteit Twente". Persberichten Universiteit Twente. http://www.utwente.nl/nieuws/pers/archief/2000/cont_00-006.doc/. Diakses pada Masalah: wektu ora absah. 
  73. "Terima Doktor HC sekang Universitas Israel". Suara Merdeka. http://www.suaramerdeka.com/harian/0306/26/nas4.htm. Diakses pada Masalah: wektu ora absah. 

Daftar pustaka

sunting
  • Barton, Greg (3 Desember 2002). Abdurrahman Wahid: Muslim Democrat, Indonesian President. Singapore: UNSW Press. ISBN 0-86840-405-5. 
  • Barton, Greg (3 Desember 2002). Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS. ISBN 978-979-3381-25-1. 
Jabatan politik
Didahului oleh:
B. J. Habibie
Presiden Republik Indonesia
1999-2001
Digantikan oleh:
Megawati Soekarnoputri


Pranala jaba

sunting